[Review Buku] “A Cup of Tea” Karya Gita Savitri Devi #BacotnyaGitasav
(source: @ariniangger)
Judul:
A Cup of Tea
Pengarang:
Gita Savitri Devi
Penerbit:
Gagas Media
Kota
Terbit: Jakarta
Tahun
Terbit: 2020
Tebal:
viii + 164 hlm
Harga:
Rp. 77.000,00
ISBN:
978-979-780-957-7
“Mulut
lo nggak sesuai sama jilbab lo.”
“Sekolah
di Jerman tapi akhlaknya nol.”
“Bad
influencer! Di mana manner lo?!”
“Halah
banyak bacot lo. Dasar attention seeker!”
“Lo
nggak dididik dengan benar sama orang tua lo.”
Kita nggak butuh pisau untuk
membunuh seseorang. Kata- kata yang ditujukan ke gue itu tentu bikin gue down. Semuanya
ingin gue hilangkan dari ingatan, tapi nggak pernah berhasil. Nggak mengacuhkan
omongan orang lain ternyata nggak mudah. Gue udah coba segala cara; self
healing, curhat ke temen, curhat ke psikolog, semuanya. Namun, sampai sekarang
kejadian itu masih terasa fresh di otak, seakan- akan baru kemarin menimpa gue.
------
Hola
teman- teman, balik lagi dipostingan pertama ditahun 2020.
Ya,
emang gue males banget urusin blog ini.
Tapi
percayalah gue tetep baca buku, walau reviewnya nggak hadir diblog hehe.
Yuk,
kita bahas buku keduanya Gitasav ini.
Pertama-
tama gue mau bilang makasih banyak untuk Gita sendiri, editor, ataupun penerbit
yang akhirnya bisa meriliskan buku “A Cup of Tea” ini diwaktu yang tepat. Kalau
kilas balik itu kan buku pertama “Rentang Kisah” hadir di 2017.
Untuk
teman- teman yang belum tahu buku pertamanya, coba aja langsung baca dan beli
yang original yaa di toko buku online ataupun offline ya. Inget harus original!
A
Cup of Tea ini ngebahas soal gimana kita bisa mencari sesuatu yang bisa
membuatnya merasa bisa upgrade diri kearah yang lebih baik untuk menemukan
makna hidup sih tentunya.
Dari
segi judul, mungkin banyak yang bertanya kenapa deh kok sama kayak judul
blognya Gita ya? Ya karena emang ini pilihan hehe, nggak gitu maksudnya. Jadi,
judul disini yang menggambarkan dekat dengan Gita (tidak berarti isi bukunya
itu cuma comot dari blog ya).
Dibuku
kedua ini, Gita lebih banyak cerita tentang kisahnya setelah lulus kuliah,
kehidupan pasca pernikahan, kesehariannya, pergi travelling bertemu orang baru
ditiap negara yang dia kunjungi.
Btw,
buku ini tuh dibagi kebeberapa bagian (bab) yang dimana tiap babnya itu punya
arti dan makna yang nempel sendiri gitu buat gue pribadi.
Gita
itu punya misi pribadi untuk mengunjungi 30 negara sebelum 30 tahun. Buat seorang Gita yang suka banget travelling,
dia menceritakan asal muasal kenapa sih dia pengen banget bisa selesaikan misi
pribadi ini. Semua terangkum dalam buku ini juga, dibab awal loh.
Kalau
kalian udah follow Gita sedari lama, subscribe youtubenya pasti sangat familiar
sama tiap tulisan yang dia taruh dibuku ini. Tapi gue nggak ngerasa bosen sih
sama isi buku ini, soalnya pembawaan Gita ditulisannya itu santai, nggak seolah
menggurui atau gimana. Yaudah ini tuh kayak bacotan Gita aja diblog, bahasanya
Gita banget deh pokoknya.
Dan
yang paling gue suka lagi (dan lagi) itu, Gita beberkan kisah dia 1 tahun
kebelakang yang dimana kena bully-an hebat di social media. Yang entah kenapa
manusia pada jahat banget, dari kiriman kata- kata yang kalian send di internet
itu bisa membunuh orang lain loh sebenarnya. Mungkin kalian bisa mikir, “masa
iya sampe dampaknya segitu parah?”.
Duh
mending ya, seorang Gita ini masih tetap semangat dan strong, dia sampe nangis
ga henti semingguan dan merasa pengen ngilang dari bumi ini. Dia udah coba
curhat ke temen, curhat ke psikolog, self healing namun ya sama aja rasanya
nggak bisa hilang gitu aja. Kayak semua yang terjadi itu masih terasa fresh diotaknya
Gita.
Kebayang
nggak sih kalian semua kalau ada diposisi Gita? Sebenarnya nih kalau yang gue
liat ya, Gita tuh selalu menunjukkan semua apa yang dia upload di social media
itu sama sekali bukan pencitraan, dan emang itulah Gita asli, sama sekali nggak
dibuat-buat untuk terlihat baik dimata netizen tercinta.
Gita
menceritakan lebih banyak juga soal perjalanan dia pergi ke beberapa negara,
yang membuat dia merasa lebih bisa memiliki banyak pengalaman baru. Yang dimana
banyak bertemu dengan orang- orang baru, dan beberapa cerita diantaranya muncul
dibuku ini.
(p.s.
gue takut kebablasan nih kalau kebanyakan ngebacot review buku ini, ntar
jatuhnya malah kupas tuntas hehe)
Untuk
yang paling gue rekomendasikan (a.k.a paling gue suka) yakni part “Mendengarkan”
Cihuyy
cihuyy...
Intinya
tuh, kita bisa bercerita satu sama lain, namun terkadang ada satu hal yang kita
lupa; yaitu kita lebih senang berbicara daripada mendengarkan.
Dikutip
dari hal. 71:
“Menurut gue, dalam berkomunikasi ada banyak hal yang harus diperhatikan selain Cuma ngobrol- ngobrol seru. Salah satu yang paling krusial adalah mendengar. Mendengar untuk mengerti bukan merespon.”
“Menjadi pendengar yang baik itu sulit. Nggak semua bisa melakukan dan butuh proses yang panjang untuk bisa ke tahap itu. Selain mendengarkan kata- katanya, kita juga mesti memperhatikan cara bicara dan intonasi lawan bicara.”
Bener
banget kutipan dari buku ini, kita terlalu banyak bicara sama manusia lain,
hingga kita lupa untuk mendengarkan cerita mereka juga. Karena menjadi seorang pendengar
yang baik itu sulit, mungkin dari kita nggak pernah sadar jika terkadang teman
kita lagi curhat untuk minta didengarkan keluh kesahnya, kita malah seolah
menyerang balik dengan cerita kita yang bahkan menurutnya tidak bisa memberikan
makna apa- apa.
Kutip
dari halaman 72:
“X: udah satu mingggu ini gue didiemin sama sahabat gue sendiri gara- gara miskomunikasi. Padahal gue udah minta maaf. Gue udah jelasin posisi gue gimana. Tetapi dia tetep nggak terima. Gue sedih banget.
Y: wah gue tahu banget sih rasanya. Gue juga pernah tuh digituin sama temen gue sendiri. Jadi tuh waktu itu gue lagi !”$$%&/()”$$%&/()”
Terkadang
kalian pernah nggak sih merasa kayak kutipan diatas?
Disinilah
pentingnya untuk bisa berempati dengan lawan bicara. Supaya kita nggak
menggeser fokus percakapan ke arah kita melulu. Sesekali, sih, nggak aoa. Cuma ada
masanya lawan bicara butuh divalidasi, bukan dikacangin bahkan sampai dihakimi.
Untuk
teman- teman semua, kita mungkin bisa belajar dari poin dipart “Mendengarkan”
ini agar kita juga bisa menjadi pendengar untuk teman kita yang dimana butuh
untuk keluh kesahnya didengarkan. Pesan dari buku ini emang cocok banget untuk
kita terapkan dikehidupan sehari- hari, yang senantiasa terasa enteng dan kecil
ternyata penuh arti untuk semuanya.
Dikutip
dari hal. 73:
“... Because I realized I talked too much about myself but hardly listened to the person I waas talking to.”
Buku
ini lebih sedikit halamannya dari buku pertama, karena dibuku pertama lebih
banyak menceritakan tentang siapa sih Gita itu sendiri dan gimana dia bisa
survive. Nah, kalau buku kedua ini Gita lebih bisa bebas untuk explore
penulisannya, jadi nggak merugikan juga walaupun isinya terbilang lebih
sedikit.
Kadang
gue juga ngerasa kadang ada kurangnya dibalik buku ini tuh, ada beberapa part
tulisan yang terulang kembali di part selanjutnya gitu. Kadang jadi agak kurang
nyaman aja, namun nggak terlalu terlihat banget kekurangannya karena ini
bukunya disatukan dengan pembagian tiap babnya yang pas aja gitu ceritanya. Jadi,
ini recomended banget buat kalian semua. Terlebih ini bisa jadi pilihan untuk
kalian yang lagi di #rumahaja disituasi sekarang ini. Langsung aja pesan
bukunya dionline strore atau cek instagramnya @gitasav sama @gagasmedia.
(source: @ariniangger)
(Buku ini gue pesan pas pre-order pertama, sekalian paket sama tumblernya Hello Gigitaga)
Buku ini gue terima pas tanggal 3 April, langsung gue lahap baca kelar dan jadilah langsung gue posting ini diblog. Nggak terlalu lama juga untuk melahap buku ini sampai habis, paling hanya beberapa jam aja sih.
Rate
bukunya: 4,5/5 untuk A Cup of Tea.
Overall,
buku ini worth to read for. Karena tiap babnya punya nilai lebih yang bisa
nempel dihati tiap pembacanya. Salut sama Gita yang akhirnya bisa nyelesaiin
naskah ini.
Untuk
teman- teman yang punya pengalaman habis baca buku ini juga, yuk share
pengalaman kalian dikolom komentar di bawah ya! #BacotnyaGitasav
Komentar
Posting Komentar